Saya selalu mencintai travelling. Sedari kecil, kedua orang 
tua saya selalu mengajak saya bepergian setiap musim liburan tiba, baik 
liburan caturwulan (ya, saya masih mengalami masa-masa ini) atau pun 
kenaikan kelas. Pulau Jawa, Bali dan Lombok sudah merasakan hangatnya 
kedua kaki kecil saya, kaki yang selalu ingin merasakan keras lembutnya 
tanah di berbagai penjuru dunia. Namun, kecintaan saya terhadap travelling
 harus berhenti untuk sementara. Sejak saya duduk di bangku SMU dan 
bersekolah di luar kota, saya disibukkan dengan berbagai macam kegiatan 
sekolah, yang akhirnya mengorbankan waktu travelling bersama 
keluarga. Tak hanya itu, mahalnya tiket pesawat pada saat itu juga 
menjadi penghalang bagi kami untuk berwisata ke tempat-tempat baru.
Di
 awal tahun 2008, ketika saya sudah bekerja di suatu perusahaan 
perbankan di Jakarta, naluri untuk bepergian ini tumbuh kembali. Yah 
mungkin juga karena saya sudah mampu berpenghasilan sendiri. Sehari 
setelah ulang tahun saya yang kedua puluh lima, saya berhasil merasakan 
hembusan angin di negeri Jiran. Bersama papa, mama dan adik saya, saya 
mencicipi nasi campur di Jalan Petaling dan menghirup dinginnya udara di
 Genting. Dan Air Asia-lah pesawat pertama yang mewujudkan keinginan 
saya untuk bepergian keluar negeri. Yah, itu adalah pertama kalinya saya
 menikmati budaya mancanegara. Delapan hari lamanya saya habiskan di 
Kuala Lumpur dan Singapura kala itu. 
Penerbangan 
bersama Air Asia di bulan Maret 2008 ini adalah awal perubahan hidup 
saya. Penerbangan pulang pergi ke Pulau Dewata pada Februari 2009 
seharga 300.000 rupiah membuat saya selalu mempercayakan perjalanan saya
 pada Air Asia. Saya menjadikan Air Asia sebagai patokan ketika naluri 
saya untuk travelling sedang ingin dipuaskan. Enam tahun telah lewat dan tidak 1 tahun pun saya lewatkan tanpa bepergian dengan Air Asia. 
Ketika
 ada yang bertanya kepada saya bagaimana Air Asia mengubah hidup saya, 
saya akan bercerita panjang lebar, bercerita tentang murahnya berbelanja
 di Chatucak dan bingungnya tersesat di Bangkok, bercerita tentang 
serunya menyusuri goa kelelawar dengan berkano di Phang Nga Bay dan 
bercengkerama bersama anak-anak di Panyee Village , bercerita tentang 
indahnya Symphony of Light di Victoria Harbor dan lelahnya mendaki 
menuju Tian Than Buddha di Ngong Ping, bercerita tentang keindahan 
panorama bawah laut Redang Island, bercerita tentang eloknya reruntuhan 
gereja Saint Paul dan enaknya eggtart Senado Square di Macau.
Saya
 juga akan meminta orang yang bertanya pada saya itu kembali tahun 
depan, untuk menanyakan hal yang sama. Saya akan bercerita tentang sibuk
 dan meriahnya kehidupan di Shinjuku. Saya akan mengajarkannya sedikit 
bahasa dan tulisan kanji. Saya akan memberikan beberapa koleksi foto 
saya ber-selfie di Osaka Tower. Dan kalau bisa, saya akan membawakannya salju Alpen Toyama. Hahahaha....
Air
 Asia tidak hanya mengubah hidup saya. Air Asia masih terus mengubah 
hidup saya sampai saat ini. Masih banyak tempat yang ingin saya 
kunjungi. Masih banyak keindahan alam yang belum saya nikmati. Kuala 
Lumpur, Kuala Terengganu, Pulau Redang, Singapura, Bangkok, Pattaya, 
Phuket, Guangzhou, Shenzhen, Hong Kong, Macau dan Denpasar, adalah saksi
 mata perubahan hidup saya, perubahan hidup konstan yang terjadi berkat 
Air Asia. Tokyo, Tateyama, Shirakawa, Kyoto dan Osaka akan menjadi saksi
 selanjutnya, dan saya yakin masih banyak kota-kota yang akan menjadi 
saksi bisu perjalanan saya bersama Air Asia. Bagi saya, travelling adalah Air Asia, dan Air Asia adalah travelling.
Tepatlah ketika moto tersebut berkumandang, bahwa benar Now Everyone Can Fly. 
- Ketika blog ini ditulis, saya baru saja memesan tiket ke Bali untuk Agustus 2015. Bali, bersiaplah di bulan Februari dan Agustus. Jepang, tunggu saya di bulan Mei. Tak sabar!!!!
- Untuk cerita perjalanan saya, bisa dibaca di blog ini juga.
 

